Najis menurut bahasa berarti sesuatu yang kotor dan menurut syara’ adalah
kotoran-kotoran yang bisa mencegah sahnya shalat. Untuk memudahkan dalam
memahami bab masalah najis ini, maka penulis akan membagi menjadi 2 bagian,
yaitu bagian pertama membahas najis-najis yang masih dianggap khilafiyah dan
bagian kedua adalah najis-najis yang sudah disepakati ulama sebagai najis.
Macam-macam najis dan bagaimana cara untuk
mensucikannya:
Ialah najis yang ringan, seperti air kencing Anak Laki-laki
yang usianya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa, selain air Susu
Ibunya.
Cara
membersihkannya, cukup dengan memercikkan air bersih pada benda yang terkena
Najis tersebut sampai bersih betul. Kita perhatikan Hadits dibawah ini :
“Barangsiapa yang terkena Air kencing Anak
Wanita, harus dicuci. Dan jika terkena Air kencing Anak Laki-laki. Cukuplah
dengan memercikkan Air pada nya”. (H.R. Abu Daud dan An-Nasa’iy)
Tapi tidak
untuk kencing anak perempuan, karena status kenajisannya sama dengan Najis
Mutawassithah.
Ialah
Najis yang sedang, yaitu kotoran Manusia atau Hewan, seperti Air kencing,
Nanah, Darah, Bangkai, minuman keras ; arak, anggur, tuak dan
sebagainya (selain dari bangkai Ikan, Belalang, dan Mayat Manusia). Dan
selain dari Najis yang lain selain yang tersebut dalam Najis ringan dan berat.
Najis
Mutawassithah itu terbagi Dua :
1. Najis‘Ainiah,yaituNajis yang bendanya
berwujud.
Cara mensucikannya. Pertama
menghilangkan zat nya terlebih dahulu. Sehingga hilang rasanya. Hilang baunya. Dan Hilang warnanya.
Kemudian baru menyiramnya dengan Air sampai bersih betul.
2. Najis Hukmiah, yaitu Najis yang bendanya
tidak berwujud : seperti bekas kencing. Bekas Arak yang sudah kering.
Cara mensucikannya ialah. Cukup dengan
mengalir kan Air pada bekas Najis tersebut.
Najis Yang dapat di Ma’afkan. Antara lain :
1. Bangkai Hewan yang darahnya tidak
mengalir. Seperti nyamuk, kutu busuk. Dan sebangsanya.
2. Najis yang sedikit sekali.
3. Nanah. Darah dari Kudis atau Bisul kita
sendiri.
4. Debu yang terbang membawa serta Najis dan
lain-lain yang sukar dihindarkan.
3. Najis Mughallazhah (Najis Berat)
Yaitu Najis yang berat. Yakni Najis yang
timbul dari Najis Anjing dan Babi.
Babi adalah binatang najis berdasarkan
al-Qur`an dan Ijma’ para sahabat Nabi (Ijma’ush Shahabat) (Prof Ali
Raghib, Ahkamush Shalat,
hal. 33). Dalil najisnya babi adalah firman Allah SWT [artinya] : “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor (rijsun,” (QS Al-An’aam [6] : 145) .
Adapun tentang najisnya Anjing, dapat
dilihat dari salah satu hadist, Rasulullah SAW Bersabda : Jika seekor anjing menjilat bejana
salah satu dari pada kamu sekalian, maka hendaknya kamu menuangkan bejana itu
(Mengosongkan isinya) kemudian membasuhnya 7X ( Diriwayatkan oleh Imam Muslim
Al Fiqhu Alal Madzhahibilj Juz I Hal.16) .
Jika binatang itu termasuk jenis yang najis
(babi dan juga anjing), maka semua bagian tubuhnya adalah najis, tidak peduli
apakah dalam keadaan hidup atau mati. (Abdurrahman Al-Baghdadi, Babi Halal Babi Haram, hal.
47). Imam al-Kasani dalam kitabnya Bada’i'ush
Shana’i` fii Tartib asy-Syara’i’ (I/74)
mengatakan bahwa babi adalah najis pada zatnya dan babi tidak dapat menjadi
suci jika disamak.
Cara mensucikannya ialah harus terlebih
dahulu dihilangkan wujud benda Najis tersebut. Kemudian baru dicuci bersih
dengan air sampai 7 kali dan permulaan atau penghabisannya diantara pencucian
itu wajib dicuci dengan air yang bercampur dengan Tanah (disamak). Cara ini
berdasarkan Sabda Rasul :
“Sucinya tempat (perkakas) mu apabila telah
dijilat oleh Anjing, adalah dengan mencucikan tujuh kali. Permulaan atau
penghabisan diantara pencucian itu (harus) dicuci dengan air yang bercampur
dengan Tanah”. (H.R. At-Tumudzy)
(1). Apakah khamer termasuk najis?
Di dalam Al-Qur’an di jelaskan
pada surat Al-Maidah ayat 90 dan Al-An’am ayat 145. Dalam kitab sahih fiqih
sunah,rijs adalah najis. Pendapat Rabi’ah, al-Laits, al-Muzani, dan selainnya
dari kalangan salaf. Dan ini adalah pendapat yang dipilih basy-Syaukani, ash,
ash-Shan’ani, Ahmad Syaikir dan Syaikh al-Albani-rahimahumullah, inilah
pendapat yang rajih berdasarkan alasan berikut:
1.
Tidak ada keterangan dalam ayat tersebut yang menunjukkan najisnya khamer.
2.
Diantara dalil-dalil yang dipergunakan untuk menghukumi sucinya khomer,
adalah hadis anas tentang kisah pengharaman khamer. Dalam hadis tersebut
disebutkan, “Rosulullah SAW memerintahkan seseorang untuk mengumumkan:
‘Ketahuilah sesungguhnya khamer telah di haramkan.’Akupun keluar rumah dan
menumpahkannya sehingga mengalir di jalan-jalan kota Madinah.
3.
Dalam hadis yang mengisahkan tentang seorang laki-laki yang membawa dua
buah kantung air terbuat dari kulit berisi khamer. Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah yang mengharamkan meminumnya telah mengharamkan menjualnya.
Maka laki-laki itu membuka penutup dua kantung itu lalu menumpahkannya hingga
habis isinya.
4.
Hukum asal sesuatu adalah suci. Tidak dapat di pindahkan hukumnya kecuali
dengan dalil yang shahih dan dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan
kenajisannya.
5.
Bagi jumhur ulama ia adalah najis karena dalam QS. Al-Maidah: 90 mereka
memaknai rijs adalah najis.
(2). Apakah darah itu najis?
Darah
,baik ia darah yang mengalir atau tetumpah, misalnya yang mengalir dari hewan
yang disembelih , atau pun darah haid tetapi dimaafkan kalau sedikit.
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa
yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang
terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas,
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
An Nahl: 115).
Yang
dimaksudkan darah yang dialirkan disebutkan dalam ayat,
قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا
عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah
yang mengalir atau
daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".”
(QS. Al An’am: 145).
Namun meskipun darah
diharamkan tetapi tidaklah najis. Hukum
darah itu kembali pada hukum asal segala sesuatu yaitu suci sampai ada dalil
yang menyatakan najisnya. Darah yang dianggap najis hanyalah darah haidh,
selain itu dihukumi akan sucinya. Lihat pembahasan Imam Asy Syaukani dalam Ad Daroril Mudhiyyah, hal. 61.
Mengenai
kaedah di atas dijelaskan pula oleh Imam Ash Shon’ani,
“Sesuatu yang najis tentu saja haram, namun tidak sebaliknya.
Karena najis berarti tidak boleh disentuh dalam setiap keadaan. Hukum najisnya
suatu benda berarti menunjukkan haramnya, namun tidak sebaliknya. Diharamkan
memakai sutera dan emas (bagi pria), namun keduanya itu suci karena didukung
oleh dalil dan ijma’ (konsensus para ulama). Jika engkau mengetahui hal ini,
maka haramnya khomr dan daging keledai jinak sebagaimana disebutkan dalam dalil
tidak menunjukkan akan najisnya. Jika ingin menyatakan najis, harus didukung dengan
dalil lain. Jika tidak, maka kita tetap berpegang dengan hukum asal yaitu
segala sesuatu itu suci. Siapa yang mengklaim keluar dari hukum asal, maka ia
harus mendatangkan dalil. Sedangkan bangkai dihukumi najisnya karena dalil
mengatakan haram sekaligus najisnya.
No comments:
Post a Comment
Nama :
Kota :
Komentar :