Penulis merasa galau dengan keadaan
yang sedang berlangsung. Saat ini kita hidup dalam dunia yang bergerak cepat ke
arah Jahiliyah modern sehingga orang-orang
yang berdiri dengan kebenaran dianggap asing hanya karena mereka
minoritas. Agama yang dulu mengaturnya dalam segala aspek kehidupan mereka,
sekarang cuma dijadikan status yang ada dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk). Kita
berada dalam zaman yang membuat kaum Muslim merasa galau dan cenderung menyesuaikan
diri dengan keburukan daripada mengubah keburukan itu dengan dakwah.
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya yang pertama-tama diciptakan Allah adalah pena (qalam), lalu Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ ia menjawab, ‘Ya Rabbku apa yang hendak kutulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat.’’ Hadits tersebut penulis ambil dari artikel ‘Pejabaran Kitab Tauhid’ karya Syaikh Abdurrahman bin Nasir as Sa’di. Sayang dalam tulisan tersebut tidak disertai dengan perawinya.
Namun disini penulis penulis bukan bermaksud membahas mesthalah haditsnya, akan tetapi hanya ingin melukiskan betapa pentingnya pena dan buah yang dihasilkan, yakni tulisan…Entah rahasia apa yang sesungguhnya terkandung dalam pena hingga Allah Swt menamai surat ke-68 dalam Al-Qur’an dengan Qalam (Pena).
Membaca dan menulis sebenarnya telah menjadi tradisi kaum Muslim sejak dulu. Banyak ulam dan tokoh Islam yang mampu menghasilkan karya besar yang mampu ‘menggetarkan dunia’ sebagai hasil ketekunan mereka dalam membaca dan menulis. Mari kita coba membiasakan diri dengan menulis hal-hal kecil, setidaknya menumbuhkan jiwa menulis ke dalam diri kita masing-masing.
Sayang, tradisi demikian seolah hilang begitu saja. Sekarang saat dunia memasuki abad informasi (konon, siapapun yang dapat menguasai informasi, akan unggul dalam persaingan) umat Islam justru tertinggal jauh. Hampir seluruh berita yang kita baca di media cetak dan kita lihat di televise bersumber dari kantor berita asing.
Tapi kita abaikan dulu permasalahan itu. Karena kita memang belum mampu mendobraknya, percuma jika tenaga kita justru mubadzir. Sekarang lihatlah ke sekeliling kita, bandingkan media cetak yang beredar di masyarakat. Kira-kira berapa prosentase antara media yang memuat dakwah/ajaran Islam dengan media yang justru merusak dakwah Islam. Tentu Anda lebih tahu jawabannya.
Dakwah lewat tulisan saat ini telah menjadi suatu keharusan dan kebutuhan, karena dakwah lewat cara ini dinilai lebih efektif dan efisien. Berikut ini kami paparkan beberapa kelebihan dakwah lewat tulisan:
1. Bisa menjangkau daerah yang luas.
Dakwah melai tulisan dapat disebarkan secara luas tanpa terbentur letak geografis. Karena mad’u (obyek dakwah) tidak harus bertatap muka dengan da’I/da’iyah di satu tempat tertentu.
2. Tidak terbatasi oleh waktu.
Dilihat dari segi waktu , dakwah lewat tulisan juga sangat fleksibel. Artinya mad’u dan da’i tidak harus bertemu dalam satu waktu. Selain itu materi dakwah juga akan ‘awet’ karena berbentuk tulisan. Bila mad’u lupa dengan pelajaran yang pernah dibaca ia bisa mencarinya kembali, berbeda dengan dengan dakwah lisan. Tidak berlebihan bila dikatakan, ‘’Ilmu ibarat binatang ternak, sedangkan tulisan adalah kekangnya.’’
3. Isi dakwah lebih akurat.
Secara mudah bisa kita lihat seorang da’i yang berdakwah dengan lisannya, ada celah kemungkinan ia akan melakukan sesuatu kekhilafan baik dalam isi maupun dalil-dalil yang digunakan. Karena ia hanya berpegang pada ingatan yang sifatnya terbatas. Kata-kata yang diucapkan pun ada kemungkinan tidak efektif dan menimbulkan penafsiran yang bersifat multi (beragam).
Berbeda dengan dakwah bil qalam, di sini materi yang disajikan diambil dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Dalam penyusunannya kita bebas membuka dan membolak-balik buku (yang tidak mungkin dilakukan dalam dakwah lisan) sehingga materi yang disampaikan akan lebih akurat. Kata-kata yang disajikan pun telah melalui koreksi yang berulang-ulang guna menghilangkan kata mubadzir. Tentu ini akan lebih mudah diterima pembaca.
Kiranya masih banyak kelebihan lain, mungkin dari sebagian dari yang penulis sebutkan di atas sudah mewakili. Munculkan semangat dari dalam tubuh yang sudah lama tertidur, untuk menyampaikan ilmu-ilmu lewat sebuah karya berupa tulisan. Lalu kenapa kita tidak mencoba jalan yang satu ini untuk ikut bergabung dengan barisan orang-orang yang berjuang menegakkan agama-Nya?
Jadikan diri kita bermanfaat untuk sesama dengan tulisan kita. Jika kita berusaha dengan kesungguhan dan ikhlas demi mencari ridha-Nya, InsyaAllah jalan lapang siap menyambut kita. Rasul bersabda, “Di akhirat nanti tinta ulama –ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada (orang-orang yang mati syahid.
Sungguh mengagumkan, coba kita bayangkan pahala yang diterima (dengan seizin Allah) para penulis Al-Qur’an terdahulu. Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab dan Umayyah. Dari goresan merekalah, Al-Qur’an yang sekarang kita baca.
Kita juga boleh kagum dengan perawi hadits seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan sebagainya. Selama hadits yang nereka riwayatkan (melalui tulisan) digunakan dalam berdakwah maka pahala bagi mereka terus mengalir meskipun jasad telah tiada.
Menulis memang pekerjaan yang gampang-gampang susah. Pada awalnya, mungkin kita kesulitan karena bahasa tulisan berbeda dengan bahasa lisan. Dalam bahasa lisan, kita hanya berpikir bagaimana menyampaikan informasi (pesan) yang kita punya agar orang lain mudah dalam memahami penyampaian kita. Bahasa yang digunakan pun sangat bebas dan bervariasi tanpa menghiraukan aturan yang ada.
Sedangkan dalam bahasa tulis, kita dituntut menggunakan tanda baca yang pas dan pemilihan kata (diksi) yang tepat. Agar pesan yang kita tulis dapat dipahami secara mudah dan jelas. Menulis berbeda dengan berbicara. Agar efektif, menulis menuntut si penulis mengungkapkan gagasan secara tertib dan tertata.
Tetapi lambat laun dan tanpa kita
sadari, kemampuan ini akan terasah bila kita membiasakan diri untuk menulis.
Sambil membaca tulisan kita berulang-ulang. Lalu bandingkan dengan tulisan
hasil karya orang lain yang dianggap lebih baik. Dengan demikian kita akan tahu
kekurangan dari tulisan kita dan semangat untuk memperbaiki agar lebih baik.
Sebagai seorang penulis, sudah
selayaknya peduli dengan lingkungan sekitarnya. Dengan realitas yang ada ia
tergelitik dan tergerak bila melihat fenomena yang menyimpang dari kaidah dan
tata nilai yang ada. Ia ingin agar orang lain juga tahu penyimpangan tersebut.
Sehingga mampu menangkalnya sesuai dengan ajaran dan tuntunan Nabi Muhammad
Saw.
Untuk menjadi seorang penulis, harus
siap membuka pancaindera dengan selebar-lebarnya. Mengamati peristiwa-peristiwa
yang ada. Lalu menakarnya dengan hati. Kira-kira itu sesui dengan ajaran (Islam)
atau tidak. Sesudah itu, kita putar akal untuk mencari solusi yang mungkin bisa
diterapkan. Tuangkan ide itu dengan tulisan agar orang lain bisa mengaksesnya
dan mendapatkan manfaatnya sebagai media dakwah, baik melalui majalah, Koran,
maupun media cetak lainnya.
Di sinilah hati akan semakin sensitif
melihat realitas. Pikiran menjadi lebih aktif untuk berpikir. Bukan saja bagi
diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Harus di ingat: ‘’Bukan hanya untuk
diri sendiri.’’ Akan sangat disayangkan bila kapasitas kecerdasan yang kita
miliki hanya dinikmati sendiri. Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik kamu
adalah orang yang bisa memberi manfaat kepada orang lain.’’ www.ernawatililys.com